Rempang, YTKNews.id—Sekolah Ignatius Loyola Rempang, Galang Kota Batam, memiliki keunggulan. Keunggulannya, sekolah ini, memiliki asrama. Lantas, asrama tersebut ditangani oleh para Suster JMJ (SJMJ). Asrama ini berpelindungkan St. Theresia. Ia berada di kompleks sekolah. Fungsinya menjadi penting, karena didirikan untuk menampung anak-anak pulau yang berlokasi berjauhan dari sekolah.
Dan menjadi luar biasa, karena anak-anak pulau itu, dapat memperoleh pelayanan pendidikan. Ini lah misi didirikan sekolah dan asrama.
Setelah semakin maju dan berkembang, pemerintah mendirikan sekolah-sekolah negeri di pulau-pulau untuk menjangkau anak-anak pulau. Walaupun demikian sekolah dan asrama St Ignatius tetap eksis sampai hari ini. Sekolah Ignatius memiliki gedung yang bagus, begitu juga dengan asrama.
Sekolah ini juga memiliki berbagai fasilitas yang tidak kalah dengan sekolah di perkotaan dan asrama ini dikelolah oleh Suster Kongregasi SJMJ.
Sudah sejak lama bahkan belasan tahun yang lalu sekolah dan asrama ini mendapat Volunteer dari Negara Prancis. MEP Volunteer Servis kembali mengirimkan anak anak muda Prancis ke Asia dan Madagaskar.
Setelah Covid 19 mereda dan dunia kembali pada aktifitas normal. MEP adalah Missions Etrangeres de Paris, sebuah lembaga religius Prancis yang mengirim sukarelawan ke berbagai negara terutama negara Asia dan Madagaskar untuk kerja kemanusiaan, seperti misalnya ke komunitas, sekolah, keuskupan, misi, management proyek, kesehatan, komunikasi dan lainnya. Para Volunteer berkerja di tanah misi bervariasi, ada yang tiga bulan, ada yang sepuluh bulan bahkan ada yang sampai dua tahun.
Salah satu Volunteer yang dikirim ke Asrama St. Theresia, sekolah St. Ignatius Loyola ini adalah Mechtilde, anak muda Prancis yang rela datang ke Indonesia dan tinggal bersama komunitas St. Theresia bersama para Suster dan peserta didik usia Sekolah Dasar sebuah tempat yang jauh dari kota dan hingar bingarnya.
Daerah Rempang termasuk kategori wilayah Hiterland. Sebelum bergabung bersama di Asrama, beliau belajar Bahasa Indonesia di sebuah Lembaga Kursus Bahasa Indonesia di Yogyakarta sebagai bekal komunikasi sehari-hari selama sebulan.
Walau Bahasa Indonesianya masih belum lancar, tidak menjadi kendala berarti baginya untuk berkomunikasi dengan para Suster dan anak-anak. Justru dengan demikian Bahasa Indonesianya semakin terampil. Saat diwawancara oleh media ini, beliau kadang menggunakan Bahasa Inggris dan kadang dalam Bahasa Indonesia.
Berdasarkan penuturannya, mahasiswi Sastra Prancis ini akan tinggal bersama di sini selama sepuluh bulan. Apa yang dikerjakan selama di sini adalah membantu pekerjaan para Suster untuk mengurusi dan mendidik anak-anak seperti, saya bangun tidur bersama anak-anak, kemudian berdoa bersama, sarapan pagi bersama, menemani belajar, membantu mendisiplinkan, intinya adalah membantu pekerjaan para Suster. Saya selalu berada bersama anak-anak pada jam mereka di asrama.
Saya sangat enjoy dan senang mendapat situasi baru, pengalaman baru dalam hidup saya, papar Mechtilde berapi-api. Apa yang saya rasakan di sini berbeda jauh dengan pengalaman saya di negara saya, di sana kami lebih individualis sedangkan di sini lebih komunal, selalu bersama, doa bersama, makan bersama, bekerja bersama.
Selain memberi kepada yang bersangkutan rasa berarti yang mendalam karena menyumbang sesuatu yang kepada orang lain, sekaligus kesempatan untuk memperkaya diri dari segi pengenalan budaya dan paradigma baru yang bisa saja mengubah secara radikal perjalanan hidup seseorang. Menjadi Volunteer MEP adalah pengalaman unik saya. Saya dapat belajar dan berada budaya baru, bahasa baru, orang baru, menjalani aktivitas hidup sehari-hari juga baru. saya berharap anak-anak juga enjoy bersama saya dan juga para Suster. (***)
Penulis : Yohanes Bosco S