Home » Rasa Cemas itu Terbayar

Rasa Cemas itu Terbayar

oleh REPORTER St. HILARIUS

PARITTIGA, YTKNEWS.IDSiang itu, di tengah teriknya matahari yang menerpa Kota Mentok, lenggak-lenggok penari kebun dari ketiga siswi SD Hilarius menjadi pusat perhatian dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat kabupaten di gedung Graha Mentok, Sabtu (27/04/2024).

Novellya Then, Gisel Kimberly, dan Marshella berlenggak-lenggok diiringi irama musik yang mengalun. Mereka menari dengan lincah layaknya orang berkebun. Balutan kostum hijau dan properti ala kebun, memberi kesan kuat akan nuansa alam.

“Rasanya tidak percaya, tapi sungguh rasa senang menyelimutiku. Aku sangat senang karena menang atas usaha dan perjuangan kami sendiri,” ungkap Novellya, salah satu penari kebun kepada YTKNEWS.ID baru-baru ini.

Sementara penari lainnya, Marshella  mengungkapkan kisah di balik perjuangan mereka. “Latihan tiga kali seminggu dan dilatih oleh Pak Jun. Lagunya sama saat lomba tingkat kecamatan, hanya beda koreografinya saja.”

Adapun Gisel menambahkan, “Properti yang digunakan penari dibuat agar mirip seperti peralatan di kebun sahang/ lada, contohnya suyak, terindak/caping, karung, dan beberapa alat yang dikreasikan menjadi sebuah tenda kebun.”

Cemas yang “Terbayar”

Terpisah, pembimbing tari Wiwin Trimaduratna mengungkapkan rasa cemasnya yang kemudian “terbayar” saat mendengarkan pengumuman pemenang lomba FLS2N tingkat kabupaten.

“Puji Tuhan, anak-anak mendapatkan juara 2 dari 12 peserta, perwakilan tingkat SD masing-masing gugus. Seleksi untuk lanjut ke tingkat provinsi dilangsungkan dengan cara anak-anak mengirimkan video tari saja,” ujar Bu Wiwin.

Selain itu, pelatih tari Pak Jun mengungkapkan alasan memilih tari Kanak Hume.

“Untuk menumbuhkan rasa empati atau kepedulian pada alam lingkungan dan ekologi hayati yang ada di sekitar kita,” ungkap Pak Jun.

Menurut Pak Jun, ada perbedaan koreografi  untuk lomba di tingkat kecamatan dan kabupaten, di mana mencakup pengembangan kreatifitas gerak dan permainan dengan memanfaatkan properti yang digunakan.

“Penampilan di tingkat kecamatan, properti karung tidak dimaksimalkan dalam penggunaannya. Setelah ke tingkat kabupaten, karung dikembangkan nilai artistiknya untuk menunjang keutuhan tema dan cerita yang ingin disampaikan. Pemilihan warna dan design kostum pun mengacu pada warna-warna bernuansa alam, agar tetap menjaga karateristik anak-anak desa yang menjaga etika dan kesopanan berbusana,” ujar Pak Jun.

Pada kesempatan terpisah, Kepala Sekolah SD Hilarius – Parittiga, Yohanes A. Riawan S.Pd. berharap, “Semoga anak-anak tetap rendah hati dan terus berkreasi, serta menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh  untuk kompetisi berikutnya ke tingkat provinsi.”

Teruslah berlatih dan tekunlah mengasah hobi anak-didikku. Sebagaimana pepatah klasik seorang negarawan asal Perancis, Napoleon Bonaparte; “Tak ada yang mudah, tetapi tak ada yang tak mungkin.”

Dan hal lainnya yang mungkin perlu untuk kita catat, tidak ada dalam hidup yang datang dengan mudah. Semua datang dengan pengorbanan. Mari kita terus menempa diri. Jadilah pribadi yang unggul. (*)

 Reporter : Lea Wulan

Anda mungkin juga suka