Home » Segala yang diciptakan oleh Allah adalah Baik (Kej 1:31)

Segala yang diciptakan oleh Allah adalah Baik (Kej 1:31)

oleh
  1. Pengantar

Manusia adalah makhluk dan sekaligus perancang lingkungannya.[1] Dalam hubungan dengan bumi, manusia memiliki tugas yang sangat esensial yang harus dilaksanakan. Yakni memelihara bumi beserta lingkungan hidup dan menjadikan bumi tempat yang layak (Better Place for Every Creature) bagi manusia serta seluruh makhluk hidup. Namun seringkali yang terjadi adalah manusia yang sekaligus menjadi perancang atas lingkungan tempat ia tinggal, secara tidak langsung pula mengubah bumi menjadi tempat yang menyeramkan. Menurut Leonardo Boff bumi ibarat ‘perempuan’ yang menderita karena telah diperkosa oleh ‘laki-laki’ sehingga kehilangan kecantikan dan pesonanya. Berikut ia mengatakan:

Bumi telah menjadi seperti “perempuan” pesakitan. Ia kehilangan kecantikan dan keindahan karena telah diperkosa oleh “laki-laki” yang bernama manusia. Demi kenikmatan, manusia telah merusak rahim alam yang adalah rahim kehidupan. Atas nama teknik dan ilmu teknologi pengetahuan, manusia meniadakan mitologi alam, menghilangkan sakralitasnya dan menjadikan alam sebagai objek yang paling menderita. Bumi cukup bagi kebutuhan manusia namun tidak cukup untuk keserakahan setiap orang.[2]

Dalam hal ini pula, gagasan dasar mengenai “Segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah Baik”[3] merupakan sebuah kritik ekologis sekaligus juga kritik terhadap manusia yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di bumi. Bumi seringkali dieksploitasi seenaknya saja tanpa memperhatikan akibat yang akan terjadi. Salah satu contoh belum lama ini adalah banjir dahsyat yang melanda pesisir pantai Utara di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), sebagian Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dan Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) yang disebabkan oleh eksploitasi besar-besaran atas kawasan hutan lindung sehingga menyebabkan banjir yang tak dapat terbendung lagi.[4] Fenomena seperti ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa bumi itu seharusnya dipelihara dan dijaga bukannya dirusak dan dieksploitasi. Akibatnya, bumi sendiri tidak bisa lagi menjadi pelindung bagi manusia melainkan berubah menjadi bencana bagi manusia. Salah satu unsur yang mempengaruhi hal ini adalah unsur ketidakpedulian manusia yang timbul dari kurangnya kesadaran, kurangnya pengetahuan, ketamakan, dan penyakit sosial; seperti perasaan rendah diri, gaya hidup, budaya (dari peninggalan atau kebiasaan lama) serta kurangnya tanggung jawab akan lingkungan.[5] Hal inilah yang seringkali tidak dipahami oleh manusia. Manusia malah menuding bumi yang telah mengutuk manusia. Namun yang menjadi pertanyaan eksistensial adalah siapa yang seharusnya dipersalahkan atas fenomena-fenomena yang menimpa manusia?.

Kenyataan lain yang tak dapat disangkal adalah bahwa manusia hidup di dalam bumi dan sekaligus berinteraksi beserta lingkungan alamnya.[6] Interaksi manusia merupakan sebuah tanda real atau konkrit bahwa manusia tidak dapat survive bila ia tidak melakukan interaksi dengan alam lingkungannya. Hanya alamlah yang memberikan manusia kehidupan dan hanya alamlah saja yang dapat membuat manusia bereksistensi dan sekaligus mengekspresikan diri. Kendatipun demikian, pada hakikatnya manusia dalam dirinya tidak bisa disangkal memiliki sebuah kontradiksi sifat alami antara manusia dan alam. Yang pertama, memiliki sifat untuk menguasai dan sifat tersebut tidak akan punah selama manusia ada, yang kedua bersifat dikuasai dan akan habis jika tidak dikelola secara manusiawi.[7] Maka, sifat-sifat alamiah yang ada pada manusia ini harus dimengerti secara ekologis dalam hubungannya dengan pelestarian alam dan lingkungan hidup. Agar demikian pula bumi sendiri tidak menjadi ancaman bagi manusia dan manusia tidak menjadi ancaman bagi bumi.

Manusia pada umumnya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya.[8] Maka, dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, seringkali manusia kehilangan kemanusiaannnya (sisi humanitas). Aktifitas-aktifitas yang dilakukanpun hanya bertujuan untuk mencari keuntungan pribadi bukan kepentingan bersama. Salah satu cotoh mengenai efek ‘rumah kaca’ yang mengancam atmosfir kehidupan manusia. Gas rumah kaca ini tidak lain berasal dari aktivitas manusia, khususnya industri dan transportasi yang menggunakan energi berbahan bakar fosil.[9] Dalam hal ini, tampak sekali sisi ‘egoistis’ dari manusia sehingga manusia melihat alam bukan sebagai tempat memberikan kehidupan malah sebaliknya, alam dilihat sebagai sebuah keuntungannya yang patut dikeruk sehabis-habisnya tanpa sisa sedikitpun. Maka, sikap seperti inilah yang sebenarnya harus dibasmi dari hati manusia yang selalu serakah atas apapun.

Benarlah sebenarnya perkataan dari Kitab Kejadian, “ Segala yang diciptakan oleh Allah adalah Baik”[10]. Namun bila berhubungan dengan konteks zaman ini maka kalimat tersebut harus dilengkapi atau direvisi lagi menjadi, “Segala yang diciptakan oleh Allah adalah Baik namun Kebaikan itu seringkali dieksploitasi oleh manusia sehingga berubah menjadi sebuah keburukan ataupun bencana bagi umat manusia”[11]Hal yang sama pula ditekankan dalam Dokumen mengenai “Lingkungan Hidup” yang dikeluarkan oleh Vatikan dalam rangka menelisik lebih jauh lagi atas pemaknaan dan pemeliharaan lingkungan hidup bagi manusia,  yang menandaskan bahwa:

“Maka tak seorangpun boleh menguasai lingkungan hidup secara mutlak dan egoistis, yang bukan res nullius (bukan milik siapapun), melainkan res omnium (milik semua), warisan umat manusia, sedemikian rupa sehingga mereka yang mempunyai – privat atau publik -, harus mempergunakannya sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua orang.[12]

Dari pernyataan di atas, sangat jelaslah bahwa manusia tidak diperbolehkan untuk menguasai  bumi  apalagi digunakan untuk kepentingan pribadi. Bumi sendiri harus digunakan untuk kepentingan bersama karena pada dasarnya bumi ada untuk menopang kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia sudah sepatutnyalah menghormati bumi karena dari bumilah manusia diberi kehidupan. Tanpa bumi manusia mati, otomatis tidak ada kehidupan yang berlangsung.

Hal yang sama pula ditegaskan kembali dalam Dokumen Vatikan bahwa “Berkuasa atas ciptaan bagi umat manusia tak berarti merusaknya, melainkan menyempurnakannya, tidak mengubah dunia menjadi kekacauan, melainkan menjadi tempat tinggal yang indah dan teratur seraya menghormati setiap hal”.[13] Inilah merupkan arti sejati dan tugas yang seharusnya ditaati serta dilaksanakan oleh manusia yakni menjadi pemelihara ‘bumi’ karena bumi merupakan rahim kehidupan itu sendiri. Dari sanalah, mengalir kehidupan yang membuat manusia hidup dan dapat mempertahankan hidup.

  1. Panggilan Ekologis Manusia

Manusia dipanggil untuk mengolah taman dunia dan menjaganya (Bdk.Kej 2:15) mengemban tanggung jawab khusus atas lingkungan hidup, artinya atas ciptaan, yang ditugaskan Allah mengabdi martabat personalnya, hidupnya: tanggung jawab tak hanya sehubungan dengan generasi masa kini, melainkan juga generasi masa mendatang.[14] Dalam hal ini dapat dilihat bahwa dalam hubungan dengan lingkungan yang mengitari diri manusia, Allah sendiri menuntut setiap pribadi untuk terlibat dalam melestarikan bumi serta merawatnya.

Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk yang lain yakni ‘mencintai’.  Mencintai merupakan sebuah tanda bahwa manusia secara khusus terpanggil untuk ‘menjadi’ makhluk yang mengasihi dan menghormati kehidupan yang telah dianugerahkan oleh Allah secara cuma-cuma.

Di samping itu pula, hormat terhadap ciptaan Allah haruslah dimengerti secara baik karena Allah menganugerahkan alam ciptaan semata-mata hanyalah untuk menopang kehidupan manusia.  Tanpa hal tersebut manusia akan sekarat atau mati. Juga secara tidak langsung Allah ingin menekankan mengenai permasalahan pencemaran lingkungan, konsumsi berlebihan, desetifikasi dan deforestasi yang dibuat manusia akan  oleh membahayakan unsur-unsur lain, yang perlu untuk hidup seperti udara, air dan tanah.[15] Oleh karena itu, sebagai manusia yang terpanggil untuk mencintai dan menghormati Alam maka sebagai manusia yang terikat oleh alam, sudah sepatutnyalah manusia untuk menaruh rasa hormat dan terima kasih kepada alam karena telah memberikan kehidupan bagi manusia untuk terus hidup.

Namun disisi lain memiliki akibat yakni ada bahaya mengenai kepunahan masal manusia apabila manusia tidak mengindahkan apa yang telah diperintahkan oleh sang pencipta. Yang menjadi penyebab utamanya ialah kelakuan manusia, antara lain, perburuan berlebihan, termasuk penangkapan ikan di laut; penebangan hutan besar-besaran, dll.[16] Jelas sekali hal ini sangat bertentangan dengan tugas panggilan manusia sebagai makhluk ekologis. Di samping itu pula mengenai kelakuan buruk yang dilakukan oleh manusia ada sebuah indikasi paling mendalam dan serius mengenai implikasi moral yang mendasari mengenai persoalan ekologis yakni kurangnya rasa hormat terhadap hidup yang tampak jelas pada banyak pola pencemaran lingkungan.[17] Rasa hormat terhadap hidup dan ciptaan seringkali menjadi suatu kelemahan dari dalam diri manusia karena manusia dalam dirinya memiliki sikap ingin ‘menguasai’. Sikap seperti inilah yang sebenarnya menghalangi manusia untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup yakni melestarikan bumi pertiwi sehingga memang seringkali manusia itu kehilangan sisi kemanusiaannya.  Rasa hormat terhadap bumi dna alam ciptaan hanyalah tanda bahwa manusia itu sudah seharusnya mencintai bumi. Dengan demikian, manusia itu sendiri dapat memaknai perkembangan sejati sebagai suatu perubahan dari keadaan yang kurang manusiawi ke arah keadaan yang lebih manusiawi.[18] Maka, dapat dikatakan pula bahwa perkembangan sejati yang diahrapkan bagi manusia sebenarnya masih sangat-sangat jauh dari harapan manusia dan sekaligus harapan Allah sekaligus. Perkembangan sejati bisa terwujud, jika masing-masing orang sadar akan kebutuhan, hubungan timbal balik manusia dengan alam ciptaan lain, keterbatasan sumber-sumber alam, hubungan manusia dengan generasi mendatang dan hubungan manusia dengan Tuhan.[19]

Maka, sebagai makhluk yang terpanggil, maka menjalin suatu relasi dengan sang pencipta kehidupan merupakan unsur hakiki yang harus dilakukan karena relasi manusia dan Allahlah yang menentukan relasinya dengan sesama manusia dan lingkungannya.[20] Hal ini sangat jelas bahwa manusia itu makhluk rohani dalam hubungannya dengan dunia. Artinya, bahwa sikap atau tindakan manusia memperlakukan lingkungan hidupnya tidak lain adalah cerminan dari sikap relasi antara Allah dan manusia. Relasi manusia dengan dunia merupakan bagian konstitutif dari jati diri manusia.[21]

Sesungguhnya pula “kuasa yang diberikan oleh Pencipta kepada manusia bukanlah kuasa mutlak, dan tak dapat disebut kebebasan mempergunakannya atau menyalahgunakannya atau mengatur hal itu semena-mena.[22] Oleh karena itu meskipun manusia itu memiliki kebebasan untuk mengolah alam  namun ada batas-batas tertentu yang tak boleh dilakukan. Hal inilah yang sebenarnya seringkali terjadi dalam dunia modern ini. Manusia seringkali melewati batas-batas yang telah dipatokkan. Contohnya: menebang hutan hingga gundul, pelepasan zat-zat beracun ke dalam air, pemanasan global dan masih banyak lagi batas yang dilewati oleh manusia.

Sehubungan dengan sikap manusia yang sembrono, maka memang harus diberikan sebuah pencerahan yang mendalam dan membuka ruang kesadaran bagi pikiran manusia. yakni alam semesta atau bumi yang menjadi tempat tinggal manusia itu semata-mata hanyalah milik Allah (sebuah titipan), berasal dari Allah, terjadi karena penyelenggaraan dan kehendak Allah dengan tujuan agar manusia mengabdi kepada Allah, dan akhirnya akan kembali kepada Allah (semua milik-Nya,dari-Nya, karena-Nya, oleh-Nya, untuk-Nya dan hanya kepada-Nya)[23]. Apabila manusia telah sadar akan hal-hal ini maka akan sangat mudah memelihara bumi dan tentunya bumi akan menjadi tempat tinggal yang menyenangkan bagi semua makhluk hidup. Inilah sebenarnya yang menjadi cita-cita dan tujuan Allah bagi manusia agar selalu menjalin relasi terus menerus hanya kepada-Nya.

  1. Manusia sebagai Puncak Ciptaan

Pada peristiwa penciptaan digambarkan bahwa Allah menciptakan bumi beserta isinya dan menjadikan manusia sebagai puncak ciptaan. Hal ini bertujuan agar manusia dapat menguasai dan  menaklukkan segala ciptaan yang lainnya (Kej 1:28). Oleh karena itu pula manusia harus melihat ‘ke bawah’ (tanpa berati menghina) pada ciptaan lain. Dengan demikian, hubungan antara manusia dan alam sejajar dengan ‘Rencana’ dan ‘desain’ Tuhan, yaitu bahwa alam berkedudukan untuk dimanfaatkan manusia bagi kepentingannya dalam makna yang seluas-luasnya.[24]

Dalam hal ini, memelihara bumi bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilakukan. Tak jarang pula manusia kadang-kadang kurang menaruh hormat pada bumi dan ciptaan apalagi hanya untuk kepentingan pribadi. Ketika manusia bukannya menjadi penjaga, melainkan tiran atas ciptaan, maka cepat ataupun lambat ciptaan akan memberontak terhadap ketidakpedulian manusia ini.[25] Akibatnya bumi merintih,berteriak dan tidak ingin bersahabat dengan manusia lagi.

Bila orang melihat bumi dan mereka yang mengolahnya, maka nilai terpenting yang dipertaruhkan ialah prinsip yang menghubungkan bumi kembali ke penciptanya karena bumi milik Allah.[26] Hubungan yang perlu dibangun disini adalah hubungan relasi. Manusia seringkali tidak memahami apa yang menjadi kehendak Allah atas bumi. Allah sebenarnya ingin setiap manusia berelasi dengan lingkngan hidup sekitarnya dan yang terpenting adalah berelasi dengan diri-Nya. Tanpa sebuah relasi maka manusia tidak akan pernah mengerti tujuan dirinya sebagai puncak dari ciptaan Allah. Karena pada hakikatnya tujuan hidup dan kehidupan manusia adalah hanya mengabdi kepada Allah[27].

Bumi dan segala isinya memiliki sebuah misteri tersendiri, maka sebagai manusia yang berkuasa atas bumi sudah sepatutnya manusia menjadikan bumi untuk digunakan bukan untuk disalahgunakan. Kekeliruan seperti inilah yang seringkali disalahmengerti oleh manusia modern yang telah teralienasi oleh perkembangan zaman.

  1. Allah yang Menyejarah

Dewasa ini, keterlibatan Allah dalam dunia banyak diragukan oleh banyak manusia. Manusia menganggap bahwa Allah tidak terlibat dalam urusan dunia. Pemikiran keliru seperti ini sudah seharusnya dibuang sejauh mungkin karena jawaban yang pasti adalah bahwa sejak semula Allah sudah turut terlibat dalam pergulatan bumi. Bumi semata-mata hanya sebuah anugerah yang luhur yang pernah ia berikan kepada manusia untuk dikelola dengan baik. “Bukan hanya bumi dianugerahkan Allah kepada manusia, melainkan manusia dari dirinya sendiri adalah anugerah dari Allah dan, oleh karenanya, harus menghormati struktur kodrati dan moral yang telah dianugerahkan-Nya”.[28] Maka, sudah menjadi tugas manusia untuk memelihara bumi beserta isinya. Dalam dokumen Kepausan juga ditekankan mengenai hal ini dalam diskursus pembangunan dan lingkungan, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa, umat kristiani pada khususnya (tidak tertutup bagi semua agama) menyadari bahwa tugas mereka (manusia) terhadap alam dan Pencipta adalah suatu bagian yang esensial dari keimanan mereka.[29]

Allah pula sering diinterpretasi manusia sebagai Allah yang diam yang tidak berbuat apap-apa terhadap bumi. Pandangan seperti ini dapat dikatakan sebagai pandangan yang sempit. Allah itu menyejarah. Dengan kata lain bahwa Allah itu turut terlibat dalam penciptaan dunia hingga kejadian-kejadian yang sangat mengerikan yang terjadi dalam dunia. Ia tidak bisa dikatakan sebagai Allah diam. Namun yang jelas bahwa dalam kediaman Allah Ia bekerja, Ia ada, Ia melihat, Ia mendengar, Ia merasakan. Jelas sekali manusia yang mengatakan Allah tidak bertindak apa-apa saat bencana alam merupakan manusia yang tidak memiliki iman.

Bukti paling konkrit bahwa Allah tidak diam melainkan melihat dan merasakan adalah saat penyaliban anakNya yang tunggal Yesus Kristus. Saat peristiwa itu juga dapat kita lihat bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Allah berakhir dengan kediaman. Hingga anakNya Yesus Kristus merasa Ia telah ditinggalkan oleh sang Bapa. Dengan berkata, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?, yang berarti Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?[30]. Hal yang sama pula dirasakan oleh manusia yang di bumi yang menganggap Allah itu diam karena tidak terlibat dalam dunia. Dalam hal ini juga Allah seringkali juga dijadikan sebagai tersangka atas segala keburukan-keburukan yang menimpa manusia seperti gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor, dan lain-lain. Dapat dikatakan pula bahw aAllah tidak bisa dijadikan sebagai tersangka begitu saja karena di satu sisi Allah telah memberikan kuasa kepada manusia untuk merawat dan memlihara bumi namun kenyataannya bumi malah membawa keburukan bukan kebaikan. Sekarang yang menjadi pertanyaan eksistensial adalah siapa yang sebenarnya harus dipersalahakan, apakah Allah ataukah manusia itu sendiri? marilah pertanyaan ini menjadi sebuah refleksi yang mendalam bagi diri manusia.

Jelas sekali bahwa Allah itu menyejarah dari waktu ke waktu. Memelihara bumi memang merupakan pekerjaan yang tidaklah mudah untuk dilakukan, manusia cenderung membuat banyak teori untuk melestarikan bumi namun di sisi lain pula manusia juga menjadi perusakkan bumi itu juga. Allah hanya bisa melihat apa yang telah dilakukan oleh manusia terhadap bumi namun Allah tidak bisa dikatakan sebagai Allah yang diam melainkan Allah yang selalu berpartisipasi terhadap dunia yang penuh dengan kebobrokan manusia. Bisa jadi situasi alam yang chaos merupakan bukti bahwa Allah itu tidak diam melainkan Allah ingin mendidik manusia untuk senantiasa menaruh rasa hormat terhadap bumi karena bumi merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam bumilah manusia tumbuh,menua dan mati.

Dewasa ini, memang menaruh penghormatan terhadap bumi dapat dikatakan minim sekali. Manusia zaman sekarang lebih cenderung mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bersama. Justru hal inilah yang dari zaman ke zaman sangat ditentang oleh Allah. Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia untuk saling melengkapi satu sama lain, begitu pula dengan bumi beserta lingkungannya. Kehadiran manusia harus dilihat sebagai kehadiran yang melengkapi bumi beserta alam ciptaan. Artinya, bahwa manusia memliki sebuah relasi yang mendalam terhadap alam itu sendiri. tanpa ada sebuah relasi dengan alam seperti yang telah dikatakan diatas, manusia tidak bisa berbuat apa-apa melainkan manusia itu akan mati dan punah. Relasi memang merupakan suatu unsur yang hakiki dalam hidup manusia yang harus terus menerus dibangun dari waktu ke waktu. Relasi terhadap alam merupakan salah satu bentuk relasi ekologis yang menopang kehidupan manusia. Dengan kata lain, dengan berelasi hidup manusia menjadi sempurna.

  1. Pemeliharaan Bumi sebagai Perwujudan Bonum Commune[31]

Tugas manusia adalah memelihara bumi. Maka, manusia harus melakukan berbagai upaya untuk mengelola bumi sedemikian rupa dan mengkonfrontasikan ke dalam realitas konkrit. Memelihara bumi pertama-tama bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi melainkan untuk kepentingan universal. Setiap manusia diharapkan menjalankan tugas ini sedemikian rupa karena tugas ini merupakan sebuah cerminan dari relasi kita dengan sang pencipta alam semesta. Di satu sisi perlu diketahui secara lebih mendalam bahwa bumi merupakan sebuah ‘anugerah’ yang diberikan Allah secara cuma-cuma tanpa harus membayar. Oleh karena itu, manusia sudah sepatutnya memelihara bumi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia bukan malah merusak dan mengeksplotasi bumi.

Pemeliharaan terhadap bumi juga memiliki tujuan yang sangat luhur dibandingkan dengan yang lain. Tujuannya adalah demi terwujudnya ‘Bonum Commune’ yang artinya, kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, bahwa manusia sejak pertama diciptakan oleh Allah telah diberikan tugas oleh Allah untuk tinggal di bumi dan merawat bumi yang semata-mata untuk kesejahteraan bersama (universal). Kesejahteraan bersama ini tidaklah dapat dengan mudah terwujud. Maka, memang sangat membutuhkan kesadaran dari setiap individu untuk membuka hati bahwa bumi merupakan tempat di mana manusia itu diberikan hidup. Bila dilihat konteks zaman sekarang ini, ‘rasa memiliki’ (sense belonging) terhadap bumipun tidak ada. Artinya, manusia dengan seenaknya menggunakan bumi tanpa tahu cara bagimana merawatnya. Inilah sebuah bentuk ketragisan dari dunia sekarang ini. Yakni dunia yang telah terkontaminasi oleh pencemaran tingkah laku manusia yang mencemari bumi. Sehingga pada akhirnya bumi tidak lagi menjadi tempat untuk berlindung melainkan menjadi tempat pembantaian masal manusia.

Kesejahteraan bersama seringkali dikaitkan dengan kesejahteraan individu. Hal ini tidak sepenuhnya salah namun memang harus melihat lebih jauh lagi. Bahwa segala sesuatu memang dimulai dari kepentingan individu lalu kepentingan bersama. Kepentingan bersama merupakan cerminan dari kepentingan invidu yang mengesampingkan sedikit kepentingan invidu demi terciptanya kepentingan bersama. Dalam hal ini, bumi sudah sepatutnya bukan dilihat untuk kepentingan individu-individu melainkan kepentingan bersama karena di dalamnya hidup individu-individu yang mengejar ke satu tujuan yang sama yakni ‘Bonum Commune’.

Menjadikan bumi indah dan tempat yang nyaman merupakan tugas utama manusia. Manusia dalam hal ini, harus menjadi agen-agen yang mengupayakan kelestarian bumi pertiwi. Masa depan bumi dapat dikatakan berada dalam genggaman manusia. Artinya, manusialah yang menentukan takdir bumi itu sendiri. apakah bumi ingin dibentuk untuk kesejahteraan bersama ataukah hanya sekedar untuk kesejahteraan pribadi belaka sehingga rela mengorbankan segalanya.

  1. We Are All One Life”

Bumi sudah semestinya menjadi tempat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya hidup. Hal ini berarti bahwa kehadiran bumi menjadi sangat penting karena bumi memberikan kehidupan kepada semua makhluk hidup tanpa terkecuali dengan kata lain bahwa sebenarnya antara bumi, manusia dan makhluk lainnya memiliki hubungan yang intim. Ini berarti bahwa bumi, manusia dan makhluk hidup lainnya adalah satu. Maka, apabila salah satu dari unsur tersakiti maka semua akan merasakan seperti halnya tubuh, bila salah satu anggota tubuh mengalami kesakitan maka semua akan ikut merasakan kesakitan tersebut. Contoh ini, sebenarnya ingin menggambarkan bahwa hubungan antara bumi, manusia dan makhluk hidup lainnya memiliki sebuah hubungan yang hakiki dan tak terpisahkan.

Dalam buku “Environment and Philosophy” dikatakan dengan tegas bahwa, “ We would understand that destroying the prairie or exterminating the wolf or polluting the sea are all forms of self-mutilation”[32]. Jelas sekali, dari kutipan kecil ini kita dapat memahami lebih mendalam bahwa apabila kita melakukan hal-hal yang dengan tujuan untuk merusak alam, maka dengan sendirinya kita sama saja membunuh diri kita sendiri dan juga membunuh makhluk hidup lainnya.

Bumi dan segala isinya merupakan karya yang sungguh luar biasa yang pernah diciptakan oleh Allah. Allah menciptakan bumi semata-mata karena ia melihatnya ‘baik’. Artinya, bumi diciptakan oleh Allah dengan tujuan agar manusia hidup di dalam bumi, mengelolah bumi, dan melestarikan bumi. Di sini juga dapat dilihat keterkaitan antara manusia dan bumi yakni sebenarnya Allah menciptakan bumi hanya semata-mata untuk manusia. Manusia dijadikan Allah sebagai wakil dari diri Allah sendiri yang sekaligus juga diberikan kuasa untuk menjadi pencipta segala sesuatu dibumi. Namun yang malah terjadi adalah sebaliknya manusia bukan menciptakan bumi yang indah dan lestari melainkan bumi yang kotor dan penuh dengan bencana yang pada akhirnya membawa kematian bagi seluruh makhluk hidup. Oleh karena itu, sebagai wakil Allah manusia sudah sepatutnya menaruh rasa hormat terhadap  bumi seperti halnya Allah menaruh rasa hormat terhadap alam ciptaannya. Dan juga hal yang terpenting dan esensial adalah manusia harus melihat bahwa bumi itu ‘baik’ karena memberikan kehidupan bagi dirinya sehingga dengan memiliki pemikiran seperti ini maka kita juga akan menaruh rasa hormat terhadap ciptaan Allah.

“Semua yang hidup adalah satu kehidupan”, semboyan ini sekiranya harus bisa dimengerti secara lebih mendalam. Artinya, bahwa kehidupan semua makhluk hidup di dunia termasuk manusia memiliki ‘hubungan darah’. Layaknya seorang saudara yang siap membela saudara lainnya apabila saudaranya ditindas dan diperlakukan tidak senonoh. Maka, sebagai seorang saudara tertua manusia harus  menjadi agen pembela bagi bumi, memelihara bumi dengan sepenuh hati dan merawat bumi layaknya seorang adik perempuan yang membutuhkan sesosok abang yang senantiasa setiap waktu berani berkorban untuk kebahagiann dan kebaikan adiknya.Manusia dikatakan ‘satu’ kehidupan memiliki arti bahwa manusia pada hakikatnya mengejar tujuan yang sama bagi dirinya sendiri maupun bagi bumi dan makhluk hidup lainnya. Yakni mengejar ‘Bonum commune’ itu sendiri. Menghendaki dan melakukan kebaikan adalah sikap dasar hidup manusia. Sikap inilah yang mendorong manusia keluar dari ruang lingkup dirinya sendiri untuk membangun kerjasama demi kebaikan bersama.[33] Dari pengertian ini, dapat dimengerti secara gambalang bahwa sebenarnya ‘Bonum’ itu sudah ada dalam hati manusia, sehingga yang dituntut Allah sendiri adalah  manusia harus mencari dan melaksanakan ‘bonum’ itu dalam relasi dengan alam dan lingkungan hidup sekitarnya.

  1. Penutup

Allah pada hakikatnya menghendaki manusia agar membangun relasi dengan bumi. Tidak hanya sekedar relasi yang dangkal belaka melainkan relasi yang utuh. Artinya, manusia diharapkan tidak hanya sadar, tetapi ia sadar akan kesadarannya sendiri, ia sadar bahwa ia sadar, ia tahu bahwa ia mengetahui, manusia mampu berefleksi, mempunyai kesadaran refleksif, sehingga mampu melihat kepada dirinya sendiri.[34] Maka, sebagai puncak dari ciptaan manusia diharapkan oleh Allah menjadi pelindung dan pemelihara bumi. Menjadi pelindung di sini bukan berarti menjadi pengamat belaka melainkan sekaligus menjadi pelaku itu sendiri.

Di samping pula manusia harus memiliki kesadaran bahwa dirinya hidup dari sang pencipta, dan sang pencipta menganugerahkan bumi untuk  manusia. Oleh karena itu, manusia harus menjadi pelindung dan pemelihara alam semesata. Karena antara manusia dan bumi memiliki kaitan yang sangat era. Artinya, tidak dapat dipisahkan, antara satu sama lain saling membutuhkan. Dr. Valentinus menulis bahwa dengan sangat baik sekali, ia mengatakan bahwa:

Alam sebagai kempulan materi yang berkeluasan dan berbobot, memiliki nilai guna dan nilai jual yang tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup. Manusia pasti binasa jika tidak mengambil bagian atau mencari pemuasan atas semesta kebutuhannya dari lingkungan hidup. Alam merupakan conditio sine qua non (niscaya) bagi keberadaan dan kelestarian umat manusia dan keturunannya. Manusia dan alam secara hakiki saling memerlukan walaupun mesti diakui bahwa yang paling tergantung sesungguhnya adalah manusia. Alam tergantung pada manusia hanya sejauh pada pemaknaan dan penilaian dengan memberi makna serta kualitas, mengubah, mengolah, memakai dan memperbaharuinya. Selebihnya alam sesungguhnya bisa eksis tanpa kehadiran manusia: dalam kenyataan terdapat banyak pulau dan daratan, hutan rimba dan ngarai, gunung dan bukit tanpa penghuni sama sekali.[35]

Dari kutipan diatas dengan sangat jelas sekali ingin diungkapan bahwa betapa pentingnya bumi (alam ciptaan) bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan kata lain, manusia memiliki ketergantungan yang total dari alam ciptaan. Oleh karena itu memelihara bumi merupakan sebuah sikap syukur dan hormat terhadap bumi. Karena hanya bumilah yang membuat manusia dapat hidup dan dapat mengekspresikan diri.

Di sisi lain, harus dapat dimengerti pula bahwa manusia sebagai wakil Allah di bumi memiliki peran yang penting, sehingga peran yang harus dilakoni tidak lain adalah berperan sebagai wakil Allah sendiri, yang senantiasa menjadi pelindung dan pemelihara bumi. Hal inilah yang kurang dipahami manusia modern zaman sekarang ini yang seringkali lupa akan peran ini.

Menurut Paus Fransiskus, dalam Ensiklik ‘Laudato Si’[36] manusia harus mengalami pertobatan ekologis. Pertobatan itu harus nyata, konsisten, dan muncul dari penghormatan akan alam ciptaan Allah yang tanggung jawab kelangsungan hidupnya diserahkan di pundak manusia.[37] Maka sebagai kesimpulan kecil penulis ingin menekankan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu ‘baik’ adanya. Namun kebaikan yang diciptakan oleh Allah seringkali memudar terkikis oleh zaman manusia yang kehilangan kesdaran akan penghormatan terhadap bumi pertiwi. Maka, dalam hal ini memang dibutuhkan sebuah relasi kembali kepada Sang Pencipta yakni Allah sehingga manusia dapat menemukan arti sejati dari eksistensinya di dunia. Apa yang seharusnya dilakukan untuk memelihara bumi dan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, benar perkataan dari Paus Fransiskus bahwa sebagai manusia ekologis dalam hubungannya dengan bumi, manusia harus secara terus menerus  bertobat dan lebih menaruh rasa hormat terhadap bumi. Karena bumilah yang dapat menopang kehidupan manusia. Tanpa bumi sama saja tidak ada kehidupan itu sendiri.

Penulis : Andreas Helpi

[1] Dokumen Konferensi Tingkat Tinggi BUMI (Rio De Janeiro, 3-14 Juni 1992), Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, hlm. 28

[2] Leonardo Boff, Jeritan Bumi, Jeritan Penderitaan, Medan: Bina Media Perintis, 2008

[3] Bdk. Kej 1:31

[4] Junius Dilapanga, Banjir Pantura Tingginya Eksploitasi Hutan, http://www.kabarbmr.com/2016/01/22/banjir-pantura-tingginya-eksploitasi-hutan/, diakses tanggal 10 April 2016, pkl. 17.07

[5] Muhammad Hidayat Rahz, Kita Masih Harus Merawat Bumi (Antologi Kisah Mencintai Lingkungan), Bandung: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 95-96

[6] Y. Eko Budi Susilo, Menuju Keselaran Lingkungan (Memahami Sikap Teologis Manusia terhadap Pencemaran Lingkungan), Malang: Averroes Press, 2003, hlm. 1

[7] Ibid.,

[8] Simon Anjar Yogatomo, Tanggung Jawab Moral Lingkungan Hidup Menurut Metode AMDAL (Skrpsi), Malang: STFT Widya Sasana, 2004, hlm. 8

[9] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan  Hidup Global, Yogyakarta: Kanisisus, 2010, hlm. 55

[10] Kej 1:31

[11] Kalimat ini merupakan sebuah kalimat yang murni diubah oleh penulis sendiri karena pada dasarnya penulis melihat manusialah yang menjadi penyebab kehilangan sang ‘kebaikan’ itu sendiri.

[12] Bernadeta Harini Tri Prasasti (ed.,), 01-06-1972 Paulus VI, Pesan Pada Kesempatan Pembukaan Konferensi PBB di Stockholm tentang Lingkungan hidup, dalam “LINGKUNGAN HIDUP”, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2014, hlm. 21

[13] Ibid.,

[14] Bernadeta Harini Tri Prasasti (ed.,), 25-03-1995 Yohanes Paulus II, Ensiklik “Evangelium Vitae” 42, Op.cit., hlm. 57

[15] Ibid., hlm. 59

[16] Muhammad Hidayat Rahz, Op.Cit., hlm. x

[17] Bernadeta Harini Tri Prasasti (ed.,),Op.Cit., hlm. 40

[18] Bdk., Franco Biffi, Ajaran Sosial Gereja Paus Yohanes Paulus II: Buku Petunjuk untuk Mempelajari Ensiklik Mengenai Kerja Manusia dan Perkembangan Sejati Bangsa-Bangsa, Jakarta: APTK, 1991, hlm. 53

[19] Piet.Go, Etika Lingkungan Hidup, Malang: Dioma, 1989, hlm. 21-22

[20] Ibid., hlm. 61

[21] Ibid., hlm. 108

[22] Ibid., hlm. 57

[23] Y. Eko Budi Susilo, Op.Cit., hlm. 142

[24] Wawan Susetya, Cermin Hati, Solo: Tiga Serangkai, 2006, hlm. 140

[25] Bernadeta Harini Tri Prasasti (ed.,),Op.Cit., hlm. 93

[26] Bernadeta Harini Tri Prasasti (ed.,),Op.Cit., hlm. 80

[27] Y. Eko Budi Susilo, Loc.Cit., hlm. 142

[28] Bernadeta Harini Tri Prasasti (ed.,),Op.Cit., hlm. 55

[29] Sean McDonagh, SSC, Ajal Kehidupan Azab Kepunahan, Medan: Bina Media Perintis, 2010, hlm. 119

[30] Bdk. Mrk. 15:34

[31] ‘Bonum Commune’ merupakan prinsip di mana harus mendahulukan kepentingan atau kesejahteraan bersama dibandingkan kesejahteraan individu.

[32] Vernon Pratt, dkk., Environment and Philosophy, London: Routledge Taylor Francis Group, 2000, hlm. 20-21

[33] Simon Anjar Yogatomo, Op.Cit., hlm. 91

[34] Y. Eko Budi Susilo, Op.Cit., hlm. 95

[35] Dr. Valentinus, Manusia Hidup dari Alam, dalam Dr. Benny Phang dan Valentinus (eds.), Minum dari Sumber Sendiri: dari Alam Menuju Tuhan, Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2011, hlm. 301

[36] Laudato si’  (bahasa Italia Tengah yang berarti “Puji Bagi-Mu”) adalah ensiklik kedua dari Paus Fransiskus. Ensiklik ini memiliki subjudulOn the care for our common home (Dalam kepedulian untuk rumah kita bersama). Dalam ensiklik ini Paus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mengambil “aksi global yang terpadu dan segera” sebagaimana dijelaskan oleh Jim Yardley dari The New York Times, Wikipedia, Laudato Si, https://id.wikipedia.org/wiki/Laudato_si%27, diakses tanggal 12 April 2016, pkl.21.21

[37] R.B.E. Agung Nugroho, Pergumulan Gereja Menghadapi Cuaca, dalam Majalah Hidup, tahun ke -69, no. 27, 5 Juli 2015, hlm. 9

Anda mungkin juga suka

Tinggalkan Komentar

* Dengan menggunakan formulir ini Anda setuju dengan penyimpanan dan penanganan data Anda oleh situs web ini.