Ujung Beting, YTKNews.ID–Dengan tren feel yang bergerak ke arah pastoralis, saya bersama tim media ini menyusuri kepulauan-kepulauan kecil di Kabupaten Lingga, hari itu, 27 Juli 2022. Tak kusangka, dalam perjalanan itu, isi pikiran ini seakan menari-nari. Tidak tahu entah kenapa.
Mungkin sebagai Delegatus Komsos Papin, saya terinsipirasi oleh motto Bapak Uskup Mgr Adrianus Sunarko, OFM, Latentur Insulae Multae, hendaklah pulau-pulau bersukacita.
Bisa jadi. Karena begitulah militansi imam diosesan Pangkalpinang dalam berkarya. Walau sedikit lebay, tetapi memang pada wajah para penumpang Kapal Gembira 5 hari itu, mengisyaratkan wajah penuh sukacita, harmoni dan kejujuran. Murah senyum dan tidak segan dalam menyapa.
Sepertinya dalam benak mereka, tak ada kecurigaan kepada para pendatang seperti saya. Ada lagi yang gampang menawarkan rokok merek asing bernama HD, ketika kami berdiri di buritan kapal. “Awak (anda) dan saya disatukan oleh rokok HD,” ujar seorang pria yang sudah layak dipanggil Bapak oleh saya.
Ketika berpapasan dengan wanita-wanita berjilbab, mereka pun begitu boros dalam senyum sumringah dan mudah menyapa. Walaupun saya yang berpapasan dengan mereka hanyalah pembalap alias pria berbadan gelap. Bahkan ada yang sempat bertanya, “awak ke mana?”
Saya yang masih membawa rasa sedikit congkak dari kota, hanya sekedar menjawab pertanyaan mereka, tanpa bertujuan memuaskan rasa kepo mereka. “”Saya turun di Pancur dan lanjut ke Ujung Beting.” Ada seorang wanita berjilbab sepertinya ia guru PNS, sempat menyela ketika mendengar jawaban saya itu. “Di sana ada sekolah yang terkenal lah, walau itu sekolah gereja,” jawabnya secara lembut, karena deru mesin kapal tidak bising, lagian sedang sandar di Pelabuhan Tajur Biru.
Sejujurnya, wajah mereka tidak sekinclong Novi, kru ytknews yang tercebur sebagai penumpang hari itu, di kapal yang oleh orang pulau disebut Jetfoil tersebut. Saya pun tidak menstratifikasikan penumpang kapal itu berdasarkan kategori kinclong atau tidak kinclong. Saya hanya lebih tertarik pada kata-kata Bapak Tua yang beri saya rokok, “kita disatukan dan dipertemukan oleh rokok HD.”
Dalam benak saya bergelora seperti riak-riak ombak yang menyapa kapal Gembira 5 yang sudah keluar dari mulut selat Sei Tenam menuju pulau Senayang. Saya tidak tahu apakah pulau-pulau mungil yang dikitari kapal itu, ada sekolah yang khusus yang mengajarkan sukacita, harmoni dan kejujuran? Itulah pertanyaan yang menghempas zona nyaman keyakinanku tentang makna pendidikan karakter.
Ketika hempasan “riak-riak ombak” pemikiran itu belum usai, kapal sudah sandar di pelabuhan Pancur. Artinya, ketika kapal tiba di Senayang, isi benakku masih bermain-main. Mungkin bagi saya Senayang sudah terasa familiar, karena beberapa kali pernah meliput sebagai kru BERKAT dan menginap di pulau itu, tatkala mendiang Monsinyur Hila SVD masih mengemban jabatan “Bishop of The Sea.“
Akhinya saya mengerti mengapa tarian dalam benakku ini berhenti di Pancur. Pasalnya, di Pancur lah batas peradaban jetfoil dan peradaban pompong. Buktinya, dari Pancur kami harus loncat ke pompong untuk belayar ke pulau Ujung Beting. Dan dalam pengalaman empirik saya sebagai anak pantai, di ujung hamparan beting lah ditemukan dalamnya laut, ketika lautan itu sedang surut. (sfn)
Reporter : fadli kelen