Sungailiat, YTKNews.id—-SD Hilarius Parittiga mengadakan rekoleksi pada tanggal 10 Maret 2023. Rekoleksi bagi setiap sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Tunas Karya, merupakan tradisi tahunan yang ditunggu-tunggu. Diadakan hanya setahun sekali pada musim prapaskah. Rekoleksi bagi SD Hilarius, merupakan tradisi larung (red– menghanyutkan) lelah pikiran ke alam bebas, akibat rutinitas mendidik yang dijalani setengah tahun lebih.
Rekoleksi berasal dari bahasa latin yakni recolectio. ‘Re’ berarti kembali, dan ‘colectio’ yang artinya mengumpulkan. Recolectio berarti mengumpulkan kembali. Apa yang dikumpulkan? Pengalaman – pengalaman yang hidup yang telah dilewati, apapun bentuk dan rasanya. Setelah dikumpulkan, pengalaman tersebut didalami, direnungkan, dilihat kembali apa yang kurang dan lebih dari pengalaman masa lalu itu. Dengan merefleksikan apa yang dikumpulkan kembali itu, manusia yang melakukannya diharapkan dapat membuat perencanaan dan janji baru untuk hidupnya di masa depan.
Biasanya, kegiatan rekoleksi SD Hilarius ditutup dengan misa. Rekoleksi tahun ini cukup menarik sebab diadakan di pantai Tanjung Pesona. Di sana, ruang rekoleksi bersebelahan langsung dengan restoran mini. Bisa kita bayangkan, yang namanya restoran, sesi makan, minum mungkin diisi oleh musik atau semacamnya, sekedar menghibur orang-orang yang sedang nongkrong.
Saat misa, persis ketika peristiwa tubuh dan darah Kristus, refren ‘Cidro Janji,’ sebuah tembang koplo klasik Jawa dinyanyikan oleh Mendiang Didi Kempot, bergaung dari restoran. Sontak, Wiwin, seorang guru, wali kelas I, juga penggemar jaranan, sambil mengatupkan kedua tangan dan memberi hormat pada tubuh dan darah Kristus, menggoyangkan kepala seperti orang goyang jaranan. Usai misa, penulis mendekatinya dan bertanya, “mengapa harus goyang kepala Ibu?”.
“ Saat dengar refren tadi, entah kenapa jiwa jarananku meronta-ronta mas e”, jawabnya. Peserta rekoleksi yang kebetulan ada di sekitar obrolan, ketawa cekikikan.
aku nelongso mergo kebacut tresno
aku kecewa karena terlanjur cinta
ora ngiro saikine cidro
tidak menyangka sekarang terluka
kepiye meneh iki pancen nasibku
bagaimana lagi ini memang nasibku
kudu nandang loro koyo mengkene
harus menahan sakit seperti ini
remuk ati iki yen eling janjine
remuk hati ini jika ingat janjinya
ora ngiro jebul lamis wae
tidak mengira ternyata manis di bibir saja
Kira-kira begitulah lirik refren lagu tersebut. Rekoleksi yang bertepatan dengan musim Paskah itu, menjadi sedikit berarti berkat refren lagu tersebut. Masa prapaskah hingga paskah dalam tradisi gereja, berarti sebuah masa tobat dan perayaan akan kebangkitan bersama Kritus. Romo Polce, dalam sesi rekoleksi, memberikan pertanyaan, apa rencana selanjutnya setelah pulang ke sekolah? Kami dalam kelompok membuat rencana-rencana dan janji masa depan.
Diinspirasi oleh refren lagu tersebut, benang merah antara Prapaskah dan Cidro janji mulai nampak. Pada masa prapaskah, kita merenungkan, Kristus rela wafat di salib karena kecintaannya pada kita guru-guru (manusia) ini. Apakah mungkin Dia pernah kecewa karena terlanjur mencintai kita? Apakah pernah remuk hatinya, ketika tahu bahwa setelah rekoleksi ini, kami akan melanggar janji yang sudah dibuat saat rekoleksi, karena ternyata hanya manis di bibir saja? Ini refleksi berkelanjutan yang dibawa pulang guru-guru SD Hilarius. Terima kasih Alm. Didi Kempot. (sfn)
Penulis : Krispianus Hona Bombo