Home » Menimbang Artifical Inteligence (Renungan sepanjang 2022-2023)

Menimbang Artifical Inteligence (Renungan sepanjang 2022-2023)

oleh REPORTER St. HILARIUS

Artificial Inteligence atau biasa disingkat AI, berarti kecerdasan buatan. Sebuah kecerdasan yang dibayangkan penemunya, menyerupai kecerdasan manusia. Kecerdasan buatan tersebut sudah dipasang pada robot (salah satu contoh robot bernama Sophia), sudah dilekatkan pada google, medsos dan berbagai platform lainnya, dengan maksud agar benda –benda itu bekerja secerdas manusia.

Beberapa maksud lain dari lahirnya AI bisa kita lihat hari-hari ini, yakni membantu manusia mengerjakan pekerjaan berulang dengan hasil yang besar, dalam waktu yang singkat. Misalnya, jika seorang penjahit bisa menjahit 10 lembar baju dalam 5 jam, maka dengan adanya teknologi canggih sekarang ini, 10 lembar baju bisa dikerjakan dalam waktu hanya 2 jam. Waktunya lebih pendek, hasilnya lebih banyak. Ini adalah pertimbangan yang sudah berkali-kali kita dengar dan kita jalani sehari-sehari (entah sadar maupun tidak sadar). Tulisan ini bermaksud mempertajam kesadaran (melalui salah satu perspektif yakni teknologi), tentang apa yang sedang berlangsung saat ini, misalnya tentang mengapa semua keadaan menjadi serba cepat dan instan, terjadi begitu banyak patahan pengertian antara satu dengan yang lain. Tiba-tiba anak-anak didik menjadi tidak terkendali baik dalam omongan maupun tindakan, dan masih banyak lagi, ditutup dengan kutipan pembicaraan Yuval Noah Harari, seorang sejarawan.

Hal-hal yang mungkin berubah sejak adanya Artificial Inteligence.

  1. Perubahan nilai dan prinsip hidup

Terjadinya redefenisi nilai-nilai hidup, dari yang tradisional modern menuju nilai hidup baru yang ultramodern, dimana  itu terjadi secara alami, manusia terarah untuk  menciptakannya demi penyesuaian dengan permintaan Artificial Inteligence itu sendiri. Misalkan, defenisi kebaikan akhlak. Seseorang disebut baik jika mengikuti kebiasaan/tradisi yang (sebelum kelahiran AI itu) diturunkan dan diajarkan oleh pendahulu. Itu, baik langsung maupun tidak, digugat sejak munculnya computer dan teknologi maju seperti AI. Defenisi baik pada era teknologi ini adalah jika kita menjadi tepat, benar, dan meminimalisir peluang bagi human error, dalam setiap keputusan hidup. Teknologi seperti AI tidak mengerti apakah kita ini punya mental menolong yang kesusahan, toleran terhadap kesalahan sesama karena yakin bahwa manusia lain juga punya kelebihan dan keunikannya sendiri. Itu tidak terjadi. AI diciptakan dari perhitungan-perhitungan unggul algoritma. Ia hanya taat pada algoritma kepastian yang dipasang padanya. Tidak ada ruang bagi kemungkinan. AI menghendaki kita berpikir, berkata, bertindak benar dan tepat dalam setiap langkahnya alias sesuai tutorial. Sederhananya, jika seorang anak 15 tahun bisa berpikir lebih benar dan tepat tentang sesuatu /lebih mengikuti tutorial, dibanding seorang tua berumur 50 tahun, maka itu bisa dianggap kebaikan. Berbuat tidak sesuai tutorial berarti salah, jadi tidak bisa dianggap kebaikan. Defenisi kebaikan menjadi berubah.

2. Perubahan pola komunikasi

Komunikasi manusia juga berubah dari komunikasi tradisional yang menekankan pada pemahaman dan penerimaan keunikan (berdasarkan kelebihan dan kekurangan alamiah) manusia, berubah menjadi komunikasi  yang keunikannya dilihat berdasarkan kelebihannya dalam ketepatan dan benar. Setiap mereka yang (meskipun) lulus dengan ijazah yang sangat tinggi, dalam komunikasinya, bisa diimbangi oleh anak-anak SMP 15 tahun, sebab berpikir tepat dan benar itu, sekarang  menggunakan berbagai macam panduan / tutorial. Siapapun bisa mempelajari dan mengikuti tutorial itu. Misalnya, tutorial bagaimana berkomunikasi dengan yang lebih tua atau muda, tutorial bagaimana memahami kejiwaan orang lain, tutorial menilai orang lain. Ini semua merupakan pola komunikasi yang berubah menjadi cair dan setara, antara setiap manusia. Sederhananya, untuk urusan kebenaran dan ketepatan dalam komunikasi, kita sudah punya panduan. Semua orang, tua, muda, anak-anak bisa membaca dan mengikuti panduan itu. Jika kita (meskipun tua), mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan tutorial yang sudah dibuat, maka komunikasi akan berubah menjadi berbeda. Seorang anak 15 tahun yang hafal betul tutorial tersebut, akan mengatakan kita salah. Ini menjadi benih ketersinggungan bagi yang lebih tua, sebab kita percaya bahwa yang lebih tua pasti lebih tau. Komunikasi menjadi berubah. Padahal, setiap detik, berkat kekuatan analisa teknologi terhadap pola perubahan hidup manusia, pada tutorial bisa selalu muncul poin-poin baru. Butuh pembacaan yang up to date terus atas hal itu. Pertanyaannya, siapakah manusia ini yang cukup sempurna untuk mengejar perubahan yang terjadi per detik itu? Mungkin yang berumur 15 tersebut, sebab mereka lebih punya cukup tenaga.

3. Perubahan pola kerja

Pekerjaan yang awalnya diciptakan sebagai upaya membebaskan manusia dari keterasingannya terhadap dunia ini, berubah menjadi murni efesiensi dan tepat guna. Pola kerja dengan sendirinya berubah menjadi pola kerja cepat dan menghasilkan lebih. Logika teknisnya, jika sebelumnya kerja 1 jam menghasilkan 150 ribu, maka sekarang kerja 1 jam kalau bisa menghasilkan 300 ribu / lebih.

Kita berharap, logika semacam itu tidak dipakai dalam upaya pembentukan sumber daya manusia (mendidik orang). Misalnya, seseorang les piano hari ini, dan kita mengharapkannya langsung mahir di hari berikutnya. Robot cerdas bernama Sophia, saat kunjungannya ke Indonesia sudah mengkonfirmasi bahwa ia hebat dalam mengolah angka dan berurusan dengan tugas yang berulang-ulang, tetapi tidak pandai dalam kecerdasan emosional, misalnya dengan menjadi guru atau CEO, karena untuk pekerjaan semacam itu, mereka perlu memahami perasaan orang (dikutip ulang dari CNN – “Kunjungan Robot Sophia ke Indonesia). Pekerjaan rumah para pendidik hari ini, mungkin terletak pada ketajaman menganalisa apa yang tidak bisa dilakukan teknologi secanggih AI, Google, Whatsapp dan lainnya, dalam membentuk manusia (siswa/I atau siapapun).

Khusus buat dunia pendidikan hari ini (menghadapi situasi yang sudah dijelaskan sebelumnya), penulis mengutip Yuval Noah Harary, bahwa investasi terbaik manusia pada hari ini adalah pada kecerdasan emosional (EQ) dan pada keseimbangan mental. Keahlian yang penting untuk terus dilatih menurutnya, adalah kemampuan untuk selalu dapat beradaptasi dan belajar sepanjang hidup. Pendidikan hari ini dianalogikan seperti merangkai tenda yang sewaktu-waktu bisa dilipat dan dipindahkan ke lokasi yang lain, dengan cepat dan mudah.

Krispianus Hona Bombo (Pengajar TIK dan Kesenian SD Hilarius)

Anda mungkin juga suka

Tinggalkan Komentar

* Dengan menggunakan formulir ini Anda setuju dengan penyimpanan dan penanganan data Anda oleh situs web ini.