Home » Pra — Pasca

Pra — Pasca

oleh REPORTER St. HILARIUS
(Esai Kontemplatif atas Realitas, Kata Sambutan Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, RD. Servasius Samuel, dan RD. Martin M. Moron)
Masa lalu adalah romantisme,
Hari ini adalah tantangan,
Besok adalah misteri.
      Tulisan ini berupaya mendudukkan tiga pembicaraan penting sekaligus, dengan kerangka berpikir waktu dan fungsi harapan di antara tiga masa waktu. Tiga pembicaraan yang menjadi acuan tulisan ini antara lain, kata sambutan Mgr. Adrianus Sunarko, OFM dalam acara ulang tahun Yayasan Tunas Karya (selanjutnya YTK) ke- 66, pembicaraan RD. Servasius Samuel, dalam In House Training (selanjutnya IHT) bagi komunitas Hilarius tentang anak-anak berkebutuhan khusus (Juni 2024), dan pembicaraan RD. Martin M. Moron,  dalam rekoleksi bertajuk “Spes Non Confundit. Harapan Tidak Mengecewakan”, yang baru saja dilalui SD Hilarius beberapa waktu lalu.
      Tantangan yang dihadapi dalam satu tahun ini cukup banyak.  Antara lain, terus bermunculannya teknologi cerdas baru, yang lebih efektif membuat perencanaan dan sangat disiplin dalam berbagai hal. Setiap teknologi punya cerita dan metode sistematisnya sendiri dalam melatih manusia. Di hadapan benda itu, perasaan manusia tentang diri, persahabatan sejati, keugaharian, kebersamaan, keadilan, benar-benar tidak berguna. Kebersamaan dengan mesin (secerdas apapun) pasti “ber – hasil”, sebab orientasi penciptaannya memang untuk efisiensi hasil. Sedangkan kebersamaan dengan manusia hanya “ber – makna”, dan orientasi penciptaan manusia mungkin untuk kebermaknaan.
      Tantangan lainnya berasal dunia pendidikan, yakni pergantian kurikulum, teknologi cerdas berbasis AI yang nyaris membuat guru mempertanyakan ulang keberfungsiannya,  hingga pelayanan yang tepat terhadap anak didik berkebutuhan khusus oleh guru, dengan perbekalan pengetahuan seadanya.
      Tantangan terakhir yaitu, pengalaman dan pemahaman masa lalu yang nyaris tidak berguna hari ini. Misalnya, narasi kebersamaan dan gotong royong yang sering sekali  digunakan pada masa lalu. Kini hal itu nyaris memudar dalam bayang narasi individualisme (ingat diri). Semangat  tersebut membara dalam penciptaan perencanaan-perencanaan masa depan, yang juga punya kecenderungan individualistik. Perencanaan itu mungkin didasarkan pada asumsi,  jika besok terjadi apa-apa dengan bumi, setidaknya diri sendiri aman dan bisa bayar perjalanan mahal ke planet lain untuk menyelamatkan diri.
      Mgr. Adrianus Sunarko dalam sambutannya di acara 66 tahun YTK, bercerita tentang salah satu penelitian Yuval Noah Harari, seorang sejarawan dan pengajar di Universitas Ibrani Yerusalem. “Mengapa manusia dibandingkan dengan hewan lain, dulunya itu, makhluk yang sangat tidak penting, karena kalah dalam banyak hal. Secara fisik, berlari kalah cepat dan lain sebagainya. Tapi, di zaman kita, setelah mengalami evolusi berabad-abad, manusia menjadi makhluk paling penting di dunia, yang mengatur segala sesuatu. Hasil penelitian Harari adalah demikian, bahwa manusia bisa begitu, lebih dari simpanse karena dua hal. Satu, karena manusia dibanding hewan lain termasuk yang paling pintar, mampu mengorganisasi orang/kelompok yang besar. Simpanse juga bisa, tetapi hanya kelompok kecil dan tergantung relasi emosional satu sama lain. Kedua, manusia itu fleksibel dalam menghadapi tantangan”. Beliau menutup pembahasan tentang Harari tersebut dengan ucapan, “tapi sebagai makhluk, mudah-mudahan ada benarnya si Yuval Noah Harari itu yah”. YTK bisa bertahan 66 tahun, dan ke depan akan bisa bertahan, mengingat yang dilayani makin banyak, kiranya juga karena ada itu (mohon maaf jika keliru, mungkin merujuk pada 2 hal sebelumnya-red). Dalam bahasa Paus Fransiskus, Sinode Berjalan Bersama, kemampuan atau kerelaan kita semua untuk bekerja sama, mengorganisir dalam jumlah yang besar, tapi juga fleksibel. Tata kelola yang dinamis, menghadapi tantangan baru”. Beliau menegaskan, bahwa manusia pasti bukan simpanse, karena bisa terkoordinir dengan baik dalam jumlah yang besar. “Mudah-mudahan kita bisa beri sumbangan yang berarti, untuk masyarakat, untuk bangsa, tetapi terutama juga sukacita bagi kalian sendiri yang ada dalam kelompok ini”, demikian Mgr. Adrianus Sunarko menutup kata sambutan tersebut.
     Di waktu dan peristiwa yang berbeda, Romo Servasius Samuel dalam IHT bagi sekolah Hilarius tahun lalu, mendapatkan pertanyaan dari peserta. Apakah anak berkebutuhan khusus punya masa depan? Masa depan seperti apa yang kira – kira mereka miliki? Romo Samuel menjawab, “anak berkebutuhan khusus itu punya masa depan. Masa depannya, ada di tangan ibu-bapak guru kita. Bentuk masa depannya ada pada kemampuan dan kompetensi anak masing-masing. Kita (guru) adalah fasilitator. Kita melatih mereka sesuai kompetensinya. Maka, perlu di bagian awal mereka di asesmen. Tidak hanya soal kekurangannya, tetapi apa yang hal yang positif dan hal yang dia minati, yang bisa kita kembangkan di lingkungan pendidikan kita. Dari situlah mereka akan berkembang dengan cara mereka”. Kemudian beliau melanjutkan,” prinsip kemitraan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus harus kita lakukan. Selain dengan dinas pendidikan, dengan rekan guru secara institusional, tapi juga dengan keluarga dan orang tua. Sehingga, proses yang kita kerjakan di sekolah, ditindaklanjuti  di rumah”.
     Baru saja pada tanggal 23 April lalu, SD Hilarius mengadakan rekoleksi di Puri Sadhana dengan Romo Martin Moron sebagai narasumber. Spes Non Confundit. Harapan Tidak Mengecewakan. Begitulah tema yang secara epik dipilih oleh Suster Martina, OSF, untuk rekoleksi tersebut.
      Romo Martin dalam pembahasannya mengungkapkan bahwa, “kekecewaan dan penderitaan tidak pernah lama, sedangkan harapan tidak pernah ada limit (batas waktu-red) nya. Penting bagi kita memelihara harapan, dan agar tidak kecewa, harapan perlu punya tujuannya. Tujuan itu mesti sesuatu yang bisa kita jangkau”. Beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa menaruh harapan pada manusia mungkin bisa mengecewakan karena Ia makhluk yang bisa berubah. Menaruh harapan pada Tuhan pasti tidak mengecewakan, karena Ia tetap dan tidak berubah. Janji terbesarnya adalah menyelamatkan umat manusia, melalui kematian dan kebangkitannya yang mengalahkan maut. Janji itu tetap dan tidak berubah. Baru saja kita merayakan momentum janji itu pada Paskah 19 April kemarin.
      Semua yang terjadi, rasanya seperti sebuah keniscayaan. Semacam pijakan rawan antara nostalgia dan masa depan, tapi tak ada pilihan lain kecuali harus tetap mencari solusi, dan tetap berbesar hati menghadapi semuanya hari ini. Di awal tulisan ini, begitu banyak tantangan nyata yang penulis ajukan. Menyusuri tulisan ini sama seperti melompat dari satu ruang waktu, ke ruang waktu lain. Antara “Pra (sebelum hari ini)” dan “Pasca (setelah hari ini)”. Garis tengah ( — ) di antaranya adalah hari ini. Kekecewaan bisa datang silih berganti di masa-masa itu. Harapan, menurut Romo Martin,  berfungsi sebagai sauh (jangkar), yang kita lemparkan ke tangan Tuhan, jika lautan kenyataan penuh badai dan ombak besar.***
    Oleh : Krispianus Hona Bombo

Anda mungkin juga suka