Home » Demokrasi dan Tantangannya bagi Pendidikan Kita

Demokrasi dan Tantangannya bagi Pendidikan Kita

oleh REPORTER St. HILARIUS

Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan cratos (kekuasaan atau pemerintahan), yang secara umum berarti pemerintahan di tangan rakyat. Paham ini tumbuh subur di era modern. Dalam demokrasi, suara semua orang dianggap setara dan setiap orang dapat terlibat aktif dalam dialog untuk mencapai keputusan terbaik. Proses dialog untuk mencapai kebenaran dan pemahaman yang lebih baik ini, disebut dialektika.

Agar demokrasi menghasilkan keputusan yang bijak, mereka yang terlibat dalam dialektika diharapkan memiliki kualitas yang mumpuni, seperti pemahaman konsep yang mendalam, keahlian, dan pengalaman. Dengan demikian, dialektika yang berkualitas menjadi syarat utama untuk menghasilkan demokrasi yang benar dan baik. Orang-orang yang terlibat dalam dialektika, perlu diuji terlebih dahulu pemahamannya tentang dialektika itu sendiri.

Pertanyaannya : bagaimana penerapan dialektika dalam pengambilan keputusan publik di sekolah? Apakah jika diserahkan kepada semua pihak—seperti guru, siswa, dan orang tua, atas nama demokrasi akan menghasilkan keputusan yang tepat? Belum tentu.

Sebagai contoh, pertimbangan keputusan tentang penggunaan ponsel di setiap jam pelajaran. Jika keputusan ini diserahkan pada pemungutan suara, kemungkinan besar siswa akan menang. Namun, apakah kemenangan ini membenarkan penggunaan ponsel? Tentu tidak. Kemenangan dalam voting tidak menjamin kebenaran atau dampak positif dari keputusan tersebut, terutama dalam konteks pendidikan di mana ada pertimbangan psikologis dan neurologis yang harus diperhatikan.

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan, lebih dari 71,3% anak usia sekolah memiliki gadget dan memainkannya dalam porsi yang cukup lama dalam sehari. Sebanyak 79% responden anak boleh memainkan gadget selain untuk belajar. Anak-anak yang kecanduan gadget cenderung mengalami masalah dalam konsentrasi, perkembangan bahasa, dan keterampilan motorik. Frekuensi penggunaan gadget yang lebih tinggi dikaitkan dengan penurunan kecerdasan verbal dan peningkatan volume otak yang lebih kecil setelah beberapa tahun. Ini berpengaruh pada pemrosesan bahasa, perhatian, memori, fungsi emosional. Siswa jadi kehilangan fokus, mengalami disorientasi psikologis, dan enggan mendengarkan guru, oleh karena gangguan perkembangan tersebut. Kuat dan kreatif seperti apapun metode mengajar yang dikembangkan, guru akan kesulitan menghadapi loncatan psikologis dan neurologis  siswa/i yang tidak beraturan.

Selain penggunaan ponsel, ada contoh lain di mana demokrasi murni bisa menjadi tantangan di sekolah. Jika keputusan untuk menambah mata pelajaran seperti Mandarin atau bahasa Jepang diserahkan sepenuhnya kepada siswa melalui voting, bisa jadi mata pelajaran yang dipilih didasarkan pada popularitas, bukan pada manfaat akademis jangka panjang. Sekolah perlu mempertimbangkan relevansi kurikulum, ketersediaan guru yang kompeten, dan kebutuhan masa depan siswa, bukan hanya popularitas sesaat.

Contoh terakhir adalah Peraturan seragam sekolah. Apabila keputusan mengenai jenis seragam atau waktu mengenakan seragam bebas diserahkan kepada siswa, hasilnya mungkin akan mengabaikan nilai-nilai disiplin dan keseragaman yang ingin ditanamkan. Aturan ini, meskipun terlihat sepeleh, berfungsi untuk menghilangkan perbedaan status ekonomi dan menciptakan lingkungan belajar setara, yang merupakan bagian dari proses pendidikan karakter.

Dalam pendidikan, kebenaran dan pertimbangan sebuah keputusan tidak dapat diserahkan begitu saja kepada semua orang. Pendidikan adalah upaya membimbing siswa untuk menemukan diri mereka sendiri (jati diri), dan ini tidak bisa berjalan tanpa adanya pembimbing dan yang dibimbing. Jika suara siswa dan guru dianggap setara, peran pembimbing menjadi kabur. Proses mendidik menjadi mandek.

Seperti yang dijelaskan dalam buku Paideia – Filsafat Pendidikan Platon karya Rm. Agustinus Setyo Wibowo, S.J., Platon berpendapat bahwa jika dialektika diberikan kepada mereka yang terlalu muda, hal itu bisa menjadi alat yang merusak. Dialektika dapat berubah menjadi erisitik, yaitu debat yang hanya bertujuan untuk menang, bukan untuk mencari kebenaran.

Inilah poin penting yang ditegaskan Platon, kebenaran tidak bisa divoting. Fakta bahwa sebuah keputusan memenangkan voting tidak berarti keputusan tersebut benar. Kebenaran bahwa anak-anak membutuhkan bimbingan untuk menemukan diri mereka sendiri, tidak bisa kita negosiasikan melalui pemungutan suara.

Lingkungan pendidikan jelas bukan lingkungan politik praktis, dimana suara dan pertimbangan semua orang disetarakan. Pendidikan bisa melakukan evaluasi kritis atas ide (bahkan ide demokrasi itu sendiri), juga aktifitas politik yang berlangsung, tapi tidak sebaliknya. Politik kepentingan (praktis), tidak pantas mengevaluasi pendidikan.

Demokrasi dalam pendidikan memang penting untuk melatih siswa berpartisipasi dan berpendapat. Namun, penerapannya perlu dipikirkan lagi. Guru, kepala sekolah, dan orang tua, yang memiliki pemahaman dan pengalaman lebih mendalam, perlu memegang peran utama dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perkembangan siswa. Tidak bisa guru duduk bersama siswa/i dan membuat keputusan, sebab siswa/i ‘belum tentu tahu apa yang ia tahu‘. Demokrasi mungkin berguna untuk melatih dialog yang konstruktif, dalam kerangka nilai-nilai pendidikan yang benar.

Oleh : Krispianus H. Bombo

Anda mungkin juga suka