Parittiga, YTKNews.id—“Kalau ada jalan ke surga menggunakan tarian, bolehlah SD Hilarius sampai lebih dahulu”
Sejak turun ke panggung tari kecamatan pada tanggal 17 mei lalu, SD Hilarius banyak mendapatkan ucapan selamat, pernyataan bagus, juga tepukan tangan meriah dari segala pihak. Ucapan dan tepukan tangan itu, sepertinya bekerja seperti doa – doa yang terbang dibawa angin ke telinga pencipta, membawa SD Hilarius ke puncak juara.
Apakah orang menari sekedar demi mengejar prestasi atau penghargaan? Jika demikian, maka mungkin ketika tak ada perlombaan, apakah tarian itu dengan sendirinya tidak ada? Untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan ini, mungkin perlu bagi kita, mendalami dahulu apa itu tarian. Bagaimana tarian itu mempengaruhi manusia dan kehidupannya.
Tarian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian. Gerakan tersebut bisa berubah-ubah sesuai irama bunyi-bunyian yang mengiringinya. Gerakan itu merupakan penghayatan atas bunyi dan irama yang ditangkap indera dari lingkungan dan alam sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, gerakan – gerakan tersebut disusun menjadi sebuah pentas, untuk berbagai macam fungsi, salah satunya fungsi edukasi.
Bagaimana tarian mendidik manusia? Sebagai sebuah pengetahuan, dalam setiap detailnya, tarian mengisyaratkan satu makna tertentu. Makna itulah yang dengan sendirinya, mengandung nilai pembelajaran dalam dirinya. Katakanlah dalam tarian bertema ‘Barong Melayu’, yang dibawakan penari SD Hilarius. Gerakan-gerakan dalam tarian tersebut, menunjukkan akulturasi gerak kebudayaan Tionghoa yaitu barongsai, dan pola gerak tari kebudayaan Melayu di Bangka Belitung. Kecmampuan untuk melakukan akulturasi, merupakan nilai edukasi penting.
Zio dan Novelia Then adalah anak kelas 4, sementara Anggi adalah siswi kelas 5. Sebagai siswa/i SD, usaha mengingat keseluruhan gerak tari, itu bukan hal yang mudah. Tarian yang mereka bawakan terbilang panjang dan banyak gerakannya. Mereka membawakannya dengan sangat luwes dan cerdas. Mereka bertiga, benar-benar memberi penghayatan mendalam pada setiap gerakan yang ditarikannya. Tarian mungkin memang seharusnya begitu. Misalnya dengan melihat tarian gipsy, yang karena penghayatan membawa tubuh larut, dengan sendirinya mencapai trans alias kedekatan dengan pencipta.
Dalam novel nonfiksinya, The Witch of Portobello, Paulo Coelho menulis ungkapan Athena (wanita Gipsy tokoh utama dalam buku itu-red), ‘ menari, berarti berdoa’. Mungkin sekhusyuk (mendalam-red) itu tarian, di mata para penari. Tak heran, jika Pak Hendri (penggemar berat tari jaranan) yang mendokumentasi penampilan SD Hilarius saat itu, berkata, “saya sungguh terharu, merinding, dan seperti ingin berdoa saat menonton mereka. Mereka menari seperti sedang berdoa”.
Bang Jun sebagai pelatih, Pak Han, Bu Wiwin, Pak Hendri, Pak Sampara, Mbah Murdjito yang mengantar para penari saat itu, mengaku sangat bangga dan bahagia dengan perolehan ini. Kebahagiaan itu disalurkan melalui pantun berbunyi begini, “Kalau ada jalan ke surga menggunakan tarian, bolehlah SD Hilarius sampai lebih dahulu”, begitu beliau-beliau bercanda ceria usai perlombaan. “Mari kita siapkan hati, batin, fisik dan doa-doa kita, melaju ke Provinsi”, kata Pak Han dengan senyum maha lebar. (In)
Reporter : Krispianus H. Bombo