Tanjungpinang, YTKNews.id—Melewati tanjakan dan sudut jalan lain di Kelurahan Tanjunpinang Barat, Kota Tanjungpinang, sore itu, 24 Juli 2022, kami sepertinya sedang melewati sebuah sudut kota yang sudah ditinggalkan penduduknya. Realitas ini berbeda dengan pengalaman melewati ruas jalan dan sudut kota yang sama, pada 22 tahun lalu. Memang, tatkala itu, saya terhitung sering bolak balik, dari Natuna ke Tanjungpinang.
Sebagai orang pulau ketika itu, di mata kami, kawasan Tanjungpinang Barat adalah pusat kota. Tak heran sisi barat kota “Gurindam” ini, menjadi tempat favorit. Karena biasanya wajib kami kunjungi. Karena di situlah, ada pusat perbelanjaan, atau sebut saja pusat ekonomi. Sisi kota yang sibuk, siang dan malam.
“Kini, pusat kota sudah berpindah ke arah Batu 17,” tutur Anggota Pengurus Yayasan Tunas Karya (YTK), Siprianus, Minggu sSore 24 Juli 2022.
Lantas, malam itu, Wisma Nasaret yang kini ada dalam pengelolaan Yayasan Tunas Karya (YTK), serasa seperti rumah retret. Wisma dua lantai ini, berada di “kaki” jalan tanjakan seputar kantor BCA Tanjungpinang. Kalau nginap di sini, jangan pernah kehabisan rokok dan aqua di kala malam. Karena di sekitarnya tidak ada kios kaki lima. Apalagi Namanya Alfamart dan sejenisnya, tidak bakal ditemui.
“Kota ini, kota lama.” Begitulah, Tonu, penjaga wisma YTK memberi merek untuk kawasan itu. Kalau memang benar, kawasan itu adalah kota lama, maka kawasan ini seperti Cikini dan Menteng nya Jakarta. Hanya Menteng dan dan Cikini, masih ramai di kala malam. Kalau di situ, hanya sesekali ada kendaraan yang lewat pada malam hari.
Pusat keramaian di kota lama alias Menteng nya Tanjungpinang ini, sudah berpindah ke pinggir pantai yang berhadapan dengan pulau Penyengat, asalnya sastra kuno, Gurindam XII.
Tak kusangka, suasana sepi kota lama ini tiba-tiba berubah pada pagi hari. Deru mesin dan klakson mobil maupun sepeda motor terdengar bising seperti saya sedang berada di antara deru kendaraan di seputaran mall Sarinah, Jakarta Pusat.
Ternyata, di seberang Wisma YTK, ada gedung tua, berwajah kinclong oleh cat biru dan kuning, Sehari sebelumnya, gedung yang terlihat lengang itu, rupanya adalah sekolah katolik.
Lantas, deru mesin dan klakson kendaraan itu, datang dari para kendaraan para pengantar siswa SD Katolik dan TK St Bernadet Tanjungpinang. Fakta itu seakan-akan memastikan, kawasan itu menjadi kota lama hanya pada sore dan malam hari.
Yang muncul dalam diriku, adalah rasa kepo. Saya pun bergegas menyeberang, untuk melihat dari dekat tentang sekolah katolik yang bernama SD Katolik itu.
Di kawasan sekolah itu, saya tidak melewati pintu loby begitu saja. Sebab, sistem pengamanan sekolah itu mewajibkan saya menulis nama di buku tamu yang tersedia di pos Satpam. “Apa kepentingan Pak ke sekolah. Pak harus tulis di buku ini, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” kata sang Satpam SD milik Keuskupan Pangkalpinang itu.
Usai menulis nama di buku tamu itu, saya seperti sudah mendapat boarding pass untuk masuk ke lingkungan sekolah, dan wajib secara aturan menjumpai terlebih dahulu kepala sekolah di situ. “Sekolah ini sungguh menerapkan disiplin dan profesional seperti sekolah-sekolah internasional di Jakarta, yang pernah saya kunjungi,” begitu pikirku.
Akhirnya sang satpam menemani saya, berjalan beberapa meter melewati lapangan basket di tengah kompleks Gedung sekolah yang mebentuk huruf U. Lapangan itu membuat kesan elegan untuk kompleks sekolah tua tetapi berdiri kinclong tersebut. Setelah beberapa meter berjalan, sang satpam menunjukkan jarinya ke arah ruang kepala sekolah, dan ia kembali ke pos jaganya.
Mungkin karena mendengar suara asing, Kepala Sekolahnya tiba-tiba membuka pintu dan ingin memastikan siapakah orang asing itu. Kepala SD Katolik Tanjungpinang itu bernama Subagyo S.Pd SD. Setelah memastikan akan hal itu, ia mengajak saya untuk masuk ke ruangannya. Karena melihat saya begitu banyak bertanya tentang sekolahya, ia mengajak saya untuk berkeliling dari ruang kelas yang satu ke ruang kelas yang lain.
Dari ruang kelas, ke ruang kelas lain, saya melihat sesuatu yang berbeda dari metode pengajaran di sekolah itu. Biasanya murid duduk, mencatat dan menghafal. Sedangkan gurunya menjelaskan atau menulis di papan.
Sedangkan hari itu tidak. Muridnya sedang berdiri dan bernyanyi, juga bermain. Sedangkan, sang guru bertindak seperti menthor, mungkin juga seperti instruktur. Saya makin merasakan ada yang unik.
Lantas saya bertanya kepada kepala sekolah saat keluar dari pintu kelas yang diasuh oleh Lusiana Supriyati, S.Pd AUD, pagi itu. “Kok metode pembelajarannya unik yah?,” tanyaku kepada Subagyo. “Ini yang disebut kurikulum belajar merdeka,” jawab Kepala Sekolah.
Kata Kepala Sekolah lagi, untuk tingkat SD, sekolahnya termasuk sekolah perintis kurikulum merdeka di Kepulauan Riau. Mendengar penjelasan kepala sekolah itu, saya merasa makin menarik, jika saya juga membuat liputan lanjutan tentang sekolah yang luar biasa ini. Maka, pada tulisan berikutnya, saya sedikit membongkar cerita tentang sisi lebihnya sekolah ini, mulai dari para anak didiknya. (Sfn)
Reporter : stefan