Pangkalpinang, YTKNews.id – Malam semakin larut. Pendidikan dan pelatihan Humas dan Promosi Yayasan Tunas Karya (YTK) masih berlangsung. Sejak siang jam 2, para peserta duduk dengan tenang dalam ruang pelatihan, sebentar – sebentar cekikikan untuk sedikit jenaka, guyonan narasumber. Waktu terus bergerak, suhu AC entah pada temperatur berapa, tetapi semakin malam, rasanya semakin dingin saja.
Tepat jam 10 malam itu, seorang Ibu separuh baya, maju ke panggung pelatihan. Style-nya lebih mirip vokalis band-band indie bertajuk senja. Busana levis lengkap, sepatu casual, rambut dengan sedikit poni, dan kacamata kotak.
Saya sedikit menggumam, “Ibu ini, tampaknya santai dan supel. Ada juga gumam negasi, “mungkinkah pemikirannya sesantai tampilannya?”. Isi gumaman itu pertanda, saya tak sabar menunggu beliau memaparkan pikirannya.
Dr. Puspitasari, begitulah ia dikenal. Tersentak penulis mendengar kata Doktor (Dr), tatkala moderator membacakan biografinya. Ia memperkenalkan diri. Beliau adalah pengajar di Universitas Indonesia dan salah satu awam gereja yang terlibat aktif hingga sekarang dalam PGI (Persatuan Gereja Indonesia). Berbusana santai saat menjadi narasumber malam itu, dengan sengaja Ia lakukan, sebagai pintu masuk baginya dalam menjelaskan pengaruh perbedaan kebudayaan, terhadap persepsi dan perspektif manusia sehari-hari.
Sehari-hari beliau mengajar di Universitas Indonesia, dengan kepakaran di bidang Komunikasi. Bidang khusus ia ampu adalah mata kuliah tetang Perubahan Sosial dan Analisis Konflik, juga Media, Globalisasi dan Teroris.
Sebelum pandemi, Ia mengajar di Universitas Pertahanan dan London School, tentang Corporate Comunication, Komunikasi Krisis. “ Sekarang kan lagi trennya ngomongin soal krisis nih. itu mata kuliah saya itu”, dengan senyum tipis ketika menjelaskannya.
Saat diklat, Dr Puspitasari mengawali materinya, dengan Corporate communication. Humas (hubungan masyarakat) yang sering kita dengar, dalam ilmu komunikasi disebut Corporate communication. Perbedaanya terletak pada keutamaannya. Humas fokus pada eksternal alias urusan luar sebuah Lembaga. Sedangkan menurut anggota Badan Pengurus Komisi Kounikasi Sosial (Komsos) KWI ini, Corporate Communication fokus pada urusan internal atau ke dalam sebuah lembaga.
Bagi Dosen Komunikasi UI ini, sebelum keluar, setiap lembaga harus urus atau kelola komunikasi ke dalam dulu. “Kalau anggotanya udah solid, itu akan sangat bagus buat sebuah Lembaga,” imbuh Puspitasari.
Menurutnya, apa yang dilakukan Pak Kris, Pak Adrick, Pak Sipri (pengurus Yayasan Tunas Karya), berdasarkan sharingnya, sudah sangat hebat. Guru-guru menjadi brand ambasador dalam karya-karya kebaikan, dan membiarkan masyarakat di sekitar menjadi ambassador untuk menarik minat masyarakat menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Yayasan Tunas Karya.
Selanjutnya Ia menampilkan cerita tentang dihukumnya seorang guru perempuan berkebangsaan Inggris dan ditutupnya sekolah selama beberapa tahun, di Sudan, akibat perbedaan kebudayaan. Memahami perbedaan – perbedaan kebudayaan itu, sangat penting bagi sebuah lembaga, agar bisa diterima dan diminati. Gejala-gejala kebudayaan yang ada dan sedang berlangsung saat ini juga perlu dicermati, katakanlah, mengapa ada kebutuhan untuk viral pada psikologi generasi Z ini.
Selanjutnya, Ia berpindah penjelasan pada pemikiran tentang Monokronik vs Polikronik. Manusia monokronik merupakan manusia yang melihat waktu itu linear, tunggal, tak bisa diulang, bergerak dari masa silam ke masa depan. Memperlakukan waktu dengan sebaik-baiknya merupakan keharusan. Itu menyebabkan manusia monokronik dalam hidupnya membutuhkan persiapan untuk hidupnya, antara lain dengan cara menabung untuk hari esok.
Polikronik punya perbedaan yang besar dalam cara melihat waktu. Bagi manusia polikronik, waktu itu merupakan putaran yang kembali dan kembali lagi, artinya waktu itu majemuk dan bisa diulang. Jadi, membuat persiapan – persiapan itu bukan hal yang diutamakan, karena toh waktu bisa berulang.
Sekilas, Dr. Puspita menjelaskan, “manusia monokronik itu merupakan manusia yang menghindari ketidakpastian, misalnya dengan menjadi guru. Kan gajinya pasti”, beberapa guru yang sedang mendengarkan tersenyum. “Polikronik menghendaki ketidakpastian, untuk adrenalin, tantangan, dan kemungkinan hidup yang tipis”, jelasnya. Ini cukup banyak terjadi pada generasi Z, misalkan dengan melihat aksi-aksi viral, yang beberapa kali tampil melalui youtube atau media social hari ini. Gelagatnya, teori itu ingin menjelaskan bahwa dengan memahami siapa itu manusia monokronik dan polikronik, bisa dibuat pemetaan kebudayaan, pemetaan kehendak, dan pemetaan kebutuhan manusia kekinian.
Saat diskusi, seorang peserta bertanya. “Jika tidak ada perlombaan dan perangkingan, bagaimana sebuah lembaga pendidikan mengukur kemajuan dalam pendidikan itu sendiri? Apakah ada alternatif lain?”, begitu bunyi pertanyaannya. Dr. Puspita memberi sedikit gambaran. Di sekolah luar, yang dilakukan pertama kali adalah mengidentifikasi kekhususan yang ada pada masing-masing siswa. Kemudian, mungkin perlu ada komunitas atau klub-klub peminatan agar mereka terarah sesuai minatnya. Pekerjaan rumah yang tersisa dari pertanyaan tersebut adalah, bagaimana formatnya?
Paginya, di depan ruang sarapan, saya menghampiri beliau, bertanya-tanya soal biografi pendidikan dan kesibukan apa saja yang sedang dikerjakannya saat ini. Beliau bercerita bahwa dimulai dari pendidikan S1, S2, hingga S3, semua kuliahnya diselesaikan di Universitas Indonesia. Soal kesibukan hari ini, Ia masih sedang mengajar di Universitas Indonesia dan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Lantas, ada yang unik, jam 10 malam ia mengajar soal humas dan promosi, jam 10 pagi beliau kembali ke Jakarta. *(sfn)*
Penulis : Krispianus H. Bombo